Hukum Perkawinan Transgender

Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna.

Dengan fisik indah yang disandangnya serta akal yang dimilikinya, hal itu yang membedakan ia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya.

Manusia diberikan akal untuk berpikir terkait hal yang baik maupun yang tidak baik.

Karena hakikatnya manusia adalah khalifah fi al-ardh pengemban amanat untuk mengelola kehidupan di muka bumi.

Agar keberlangsungan hidup manusia tetap terjaga, islam menjawab perkawinan adalah solusi tepatnya.

Perkawinan adalah suatu bentuk ikrar yang sakral dan suci oleh kedua insan (laki-laki dan perempuan) yang telah berjanji untuk membangun rumah tangga bersama selamanya, tentu dengan dasar keridhaan atas keduanya.

Perkawinan sangat erat kaitannya dengan legimitasi sosial, mereka yang sudah menikah mampu terhindar dari adanya fitnah-fitnah yang tidak diinginkan.

Dengan perkawinan pula manusia mampu menyempurnakan separuh dari agamanya.

Namun penyimpangan-penyimpangan yang terjadi belakangan ini mulai beredar seperti perkawinan sejenis yang dilakukan oleh sekelompk LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transeksual).

Transgender bukan istilah yang baru, namun istilah lama yang mencuat ke permukaan bumi belakangan ini.

Transgender adalah keadaan gender psikologi seseorang yang bertolak belakang dengan kelamin biologisnya.

Seseorang merasa terperangkap dalam tubuh yang salah, kelamin biologisnya menunjukkan laki-laki namun perangaianya mengehendaki perempuan atau sebaliknya.

Ia merasa bahwa tidak ada kecocokan antara gender yang dibawanya dengan biologi kelaminnya.

Biasanya orang transgender menunjukannya dengan cara berperilaku dan berpakaian.

Hal ini menyalahi kultur yang ada, laki-laki yang kodratnya berkarakter tegas dan memimpin tapi lain halnya ia berperilaku lemah gemulai seperti perempuan, perempuan yang kodratnya lemah lembut berkarakter seperti laki-laki.

Islam mengenal orang yang diragukan jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan dikenal dengan istilah Khuntsa berasal dari kata al-khantsu yang berarti lemah atau pecah.

Istilah tersebut memunculkan fenomena dalam Indonesia, apabila seorang laki-laki dikatakan sebagai laki-laki justru ia malah berperilaku perempuan, begitu juga sebaliknya perempuan apabila dikatakan sebagai perempuan dia berperilaku laki-laki.

Trangender tersebut dapat dipengaruhi oleh dua faktor: faktor biologis dan psikologis.

Perkawinan adalah akad yang paling kokoh (mitsaqan qhalizhan) yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang terpenuhi syarat-syarat di dalamnya.

Tujuan fundamental dari perkawinan adalah menghasilkan keturunan untuk keberlangsungan hidup manusia selanjutnya.

Lantas bagaimana hukum perkawinan yang dilakukan oleh kelompok Transgender?

Di dalam hukum transendental (Alquran dan hadis) memang tidak disebutkan secara eksplisit terkait dengan hukum perkawinan sejenis, namun dalam menjelaskan hukum tersebut harus ditelusuri terlebih dahulu dari ayat-ayat Alquran maupun hadis dan dari teks-teks yang menjelaskan hukum perkawinan sejenis.

Buku Masifuk Zuhdi menjelaskan waria atau banci yang melakukan operasi perbaikan alat kelamin, ketika dia melakukan pernikahan dengan pasangan yang berjenis kelamin berbeda maka hukumya sah.

Apabila tujuan dari operasi kelamin tersebut adalah tahsis/takmil yakni untuk memperbaiki dan menyempurnakan alat kelamin atau memfungsionalkan salah satu dari kelaminnya maka hukumnya sah menurut islam.

Karena untuk memperjelas identitas perempuan atau laki-laki dari kelompok Khuntsa.

Apabila mereka melakukan perkawinan atas dasar sendiri bukan paksaan dari orang lain setelah melakukan perbaikan kelamin maka perkawinannya dihukumi sah menurut islam.

Sedangkan orang yang melakukan perubahan bentuk kelamin dari lahirnya, atau merubah kodrat yang telah ditetapkan sang raja semesta hukumnya tidak sah/haram.

Misal, laki-laki yang merubah alat kelaminya menjadi alat kelamin perempuan dan sebaliknya.

Apabila kelompok mereka melakukan perkawinan, secara otomatis hal itu adalah sebuah paksaan atau niat yang ada dihatinya namun bertolak belakang akibat perubahan alat kelamin yang dilakukannya.

Maka hukum perkawinan yang dilakukannya menurut hukum islam tidak sah/haram.

Di dalam ilmu fiqih, terdapat dua istilah yang berbeda namun substansi hukum keduanya sama, yakni nikah al-fasid dan nikah al-batil.

al-fasid adalah pernikahan yang dilakukan dengan tidak memenuhi salah satu syarat-syaratnya.

Sedangkan al-batil adalah pernikahan yang dilakukan dengan tidakΒ  terpenuhinya rukun.

Meskipun kedua istilah tersebut berbeda namun hukum keduanya tetap sama, yakni sama-sama tidak sah.

Perkawinan yang dilakukan oleh kelompok transgender dengan tujuan merubah bentuk alat kelaminnya tergolong kepada dua istilah tersebut yakni pernikahan al-fasid dan al-batil, apabila ditinjau dari hukum qiyas pernikahan al-fasid dan al-batil tidak sah atau batal.

Dan pernikahan transgender masuk dalam kategori keduanya, maka diqiyaskan pula pernikahan transgender dengan hukum pernikahan al-fasid dan al-batil, yakni hukumnya tidak sah atau batal.

Artikel ini dikongsikan oleh saudari TRIANA HANDAYANI, mahasiswa semester 6 Universiti Maulana Malik Ibrahim Malang-Jawa Timur- Indonesia

Photo of author

Muhamad Naim

Bertugas sebagai pendidik dibawah Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM). Telah menubuhkan dan menulis di web akuislam.com semenjak tahun 2010. Saya berharap laman web ini memberi manfaat kepada anda semua. Semoga Allah redha.

Suka Apa Yang Anda Baca?

Daftarkan nama dan email anda untuk mendapatkan panduan dan perkongsian berkualiti terus ke inbox anda secara PERCUMA!







Privasi anda adalah keutamaan kami. Kami tidak bertolak ansur dengan spam dan kebocoran maklumat kepada pihak ketiga.

Tinggalkan Komen Anda..

DAFTAR NOTIFIKASI DI SINI..
Maklumkan saya jika terdapat:
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments